Tuesday, June 17, 2003

dan

dan pada hidup yang abu-abu
dan aku terkucil di pusaran ketidakpastian
dan adakah jalan keluar?
dan bawa aku jika ada
dan bantu aku, Tuhan...

Friday, June 13, 2003

Lingkar Mencari Bapak

"Kenapa surga cuma ada di telapak kaki Ibu?"
"Karena Ibulah yang melahirkan."
"Artinya, di telapak kaki Bapak tidak ada surga?"
"Pengertiannya tidak begitu..."
"Itu tidak adil. Bapak yang membuat Ibu hamil, kenapa surga cuma ada pada Ibu?"
"Karena ibulah yang melahirkan. Bapak tidak melahirkan. Bapak cuma menamam benih. Menanam benih nikmat, melahirkan sakit."
"Tapi aku tak pernah melihat sosok Bapak sepanjang hidup. Orang-orang bilang, aku lahir tanpa Bapak. Kenapa bisa begitu? Benih dari langitkah aku?"

Sulastri masygul. Dia tatap wajah anak laki satu-satunya itu sambil meremas tangan. Pertanyaan ini tak mudah untuk dijawab. Sebetulnya, bukan baru kali ini dia ditanya demikian. Tapi, cara bertanya anaknya sekarang terlihat lebih serius. Inikah pertanda anaknya sudah semakin dewasa? Ah, anak zaman sekarang terlalu cepat menjadi tua. Umurnya kan baru 17 tahun. Lulus SMU pun belum. Sulastri membatin, juga gelisah.

"Ceritanya panjang, Lingkar..."
"Ceritakan saja, Bu. Aku akan dengarkan. Aku perlu tahu siapa Bapakku. Aku selalu membayangkannya akhir-akhir ini."
"Lingkar, Ibu tak siap. Jangan sekarang. Suatu saat Ibu akan ceritakan semuanya."
"Kapan?"
"Sabar..."
Lingkar melipat bibir. Melenguh sebentar, lalu membalik badan masuk ke kamar. Meninggalkan ibunya di meja makan. "Aku capek disuruh bersabar!"

Brak!

Terdengar bunyi pintu kamar dibanting. Sulastri membisu. Derik jangkrik lapat-lapat membunuh malam. Detak jam di dinding terus berputar, menakutkan Sulastri akan hari esok.

Pada waktu bersamaan, di sebuah rumah mewah, tiga orang tengah membahas sesuatu dengan serius. Dua dari mereka berkepala botak dan bertubuh ceking. Sedangkan seorang lagi jauh lebih tua, gendut, berdasi, wangi, dan rambut tersisir rapi. Dari pakaian dan sikap yang terpancar, terlihat jelas bahwa antara dua orang ceking dan Si Berdasi ada jarak status yang tegas. Si Berdasi mungkin bos dan dua orang ceking itu cuma kacung.

"Sudah ada orangnya?" Si Berdasi berkata sambil menghisap cerutu. Kedua kakinya lurus di atas meja.
"Ada, Bos. Ada tiga orang. Semuanya residivis. Tompel, Murai, dan Jenggo." Satu di antara dua orang ceking itu menjawab. "Seberapa hebat mereka?"
"Pokoknya dahsyat Boss. Tompel adalah napi yang senang sekali merampok ATM. Dia tak segan-segan membunuh saksi. Murai itu pemeras di perusahaan-perusahaan. Dia mendapat obyekan dari pejabat di Pemda. Sedangkan Jenggo, tentara desersi yang jago tembak. Semuanya hebat. Semuanya punya naluri membunuh. Kami jamin."
"Hm... Kalau begitu, kerjakanlah. Jangan mengecewakan saya." Si Berdasi menyeruput kopi di meja.
"Beres, bos!"

Si Berdasi yang dipanggil bos itu adalah pengusaha besar yang culas. Namanya Guntoro. Dia penjahat yang pengusaha atau pengusaha yang penjahat, sama saja. Intinya dia orang beruntung. Sebab, dia masih bisa berbisnis, menghirup udara bebas, meski sudah menggondol duit negara lewat pinjaman bank pemerintah yang kemudian macet. Dia juga pernah curang di lantai bursa, menggandakan laporan keuangan, hingga merugikan pemegang saham kecil. Dia tak segan-segan membunuh lawan bisnis. Semuanya tak terungkap, cuma menjadi desas-desus, karena dia banyak uang. Uang bisa membungkam kebenaran. Apalagi, dia juga dekat dengan lingkaran kekuasaan.

Lagi, pada waktu bersamaan, di sebuah kamar hotel mewah, lelaki tua sedang tertawa-tawa ditemani dua gadis belia yang lebih cocok menjadi cucunya. Tak jauh beda dengan Guntoro, dia juga seorang pengusaha yang di jidatnya ada label penjahat. Namanya juga label, predikat penjahat itu benar-benar cuma tempelan. Namanya Samdura Prawira. Dulu, dulu sekali, Guntoro dan Samdura adalah teman sekampung di desa. Sama-sama perantau, dan sukses setelah pontang-panting bertahun-tahun di Jakarta.

Baik Guntoro dan Samudra sepakat bahwa dalam berbisnis, yang terpenting bukanlah kejujuran, tapi cara yang tepat untuk meraih keuntungan. Masa bodoh caranya baik atau buruk, terpuji atau laknat, yang penting untung. Peduli setan orang lain buntung. Nah, melihat cara bisnis kedua orang ini, bisa ditebak mereka kerap menghalakan segala cara. Memanfaatkan koneksi di pusat kekuasaan, sih, soal kecil. Bagi mereka, jauh lebih penting adalah mengeluarkan banyak uang menyuap kiri kanan, agar bisnisnya lancar. Jangan heran bahwa keduanya adalah orang tak tersentuh hukum, sebab hukum cuma keras untuk orang-orang berkantong cekak.

"Wah, kalian hebat." Samudra menyeringai senang, memuji dua gadis yang baru saja melayaninya dengan pelayanan habis-habisan.
"Itu belum seberapa, Oom. Kami biasa melakukan seperti tadi. Kalau Oom ketagihan, Oom tinggal kontak kami. Oke Oom?"
"Itu bisa diatur. Ini cek buat kalian." Samudra tersenyum.
Kedua gadis itu terbelalak melihat nominal yang tertulis di cek. Mereka benar-benar tak percaya mendapat bayaran tinggi. Setelah memasukkan cek ke tas, keduanya keluar kamar dengan riang.
"Thank you, Oom!"
Pintu kamar tertutup. Sedetik kemudian, Samudra menelepon seseorang. "Bereskan dua gadis centil itu. Ambil cek dari tasnya."

===

Esok siang, televisi ramai memberitakan penemuan mayat dua gadis tanpa busana di tepi sungai. Lingkar dan ibunya menyaksikan berita itu sekenanya, tak fokus. Maklum, mereka sedang asyik ngobrol. Lagi pula, berita pembunuhan yang disiarkan siang hari oleh televisi sudah menjadi rutinitas. Setiap hari, televisi berlomba-lomba menyiarkan info kriminalitas dengan gayanya yang nyaris seragam: selalu ada polisi bak jagoan sedang membentak-bentak pengedar shabu-shabu atau ganja, meninju, dan memaki perut pencuri ayam, tapi sopan sekali saat menangkap pejabat korup atau pembunuh yang kebetulan anak pejabat.

"Bagaimana rupa Bapakku, Bu?" Lingkar bertanya sambil menyendok nasi dari bakul. Dia baru pulang sekolah. Kelaparan.
Kerongkongan Sulastri tersedak. "Kamu masih penasaran?"
"Saya memang ingin tahu, Bu. Apa saya salah?"
Sulastri menarik napas. "Baiklah.... Bapakmu itu seorang pengusaha. Dia orang besar, orang sukses."
"Di mana dia sekarang? Kenapa Ibu berpisah?"

Sulastri menarik-narik taplak meja yang sebetulnya sudah rapi. Ini pertanyaan sulit. Lidahnya terasa kaku menuturkan masa silam yang perih, karena sejujurnya, dia sama sekali tak pernah menikah, karena sejujurnya pula dia hamil lantaran diperkosa Samudra. Peristiwa kelam itu terjadi 17 tahun silam, saat dirinya bekerja sebagai pembantu di rumah pengusaha besar itu.
"Bapakmu menceraikan Ibu, karena kami sudah tak cocok lagi." Sulastri berbohong.
"Oh... di mana Bapak sekarang? Kenapa kita miskin? Bapak kan pengusaha sukses. Kenapa sebagai orang yang pernah menjadi istri pengusaha sukses Ibu mencari uang dengan mencuci baju orang dan aku mengamen untuk menambah uang jajan? Kenapa rumah kita cuma seluas lapangan bulu tangkis dan ngontrak? Aku ingin mencari Bapak. Aku ingin protes padanya. Aku ingin marah! Kenapa dia membiarkan kita melarat?"

Sulastri tertegun. Bibirnya terkatup. Dengan begitu, dia membiarkan anaknya terus bicara.
"Aku capek, Bu. Kakiku pegal mengamen terus. Aku tak kuat melihat Ibu terus-terusan menjadi buruh cuci. Harus ada yang bertanggung jawab kenapa nasib kita begini buruk. Setahuku, yang bertanggung jawab di rumah adalah seorang Bapak. Tapi mana Bapakku? Aku belum pernah melihatnya sama sekali. Kita membutuhkan pertolongannya. Kita membutuhkan uangnya supaya nasib kita berubah. Apa Ibu mau hidup terus-terusan menderita? Aku tidak mau. Aku capek! Capek!"

Lingkar terengah-engah. Sulastri tetap mengunci mulut.

"Sekarang coba Ibu jelaskan di mana Bapak? Saya mohon, Bu."
Sulastri membetulkan letak duduknya. Sesungguhnya dia benar-benar tak tahu rumah Samudra sekarang. Kalau pun tahu, bagaimana caranya menuntut pada orang yang pernah memperkosanya? Dalam keadaan bimbang seperti itu, yang keluar dari mulut Sulastri hanya kata-kata yang membuat Lingkar kian sebal.
"Ibu tidak tahu, Lingkar. Maafkan Ibu."
"Ah, selalu begitu. Kenapa bisa Ibu tidak tahu? Aneh! Aku harus menunggu sampai umur berapa agar diberitahu keberadaan Bapak? Aku sudah besar Bu. Ceritakan saja!"
"Kalau sudah tahu, apa yang kamu lakukan?"
"Aku akan cari dia dan minta uang yang banyak supaya kita tak sengsara!"

Sulastri menunduk. Dia betul-betul pusing. "Ibu benar-benar tidak tahu Lingkar. Ibu tidak tahu Bapakmu di mana. Tolong Lingkar, jangan paksa Ibu." Air mata meleleh di pipi Sulastri.
"Huh! Sudahlah! Aku bosan mendengar kalimat itu!" Lingkar bangun. Meninggalkan sepiring nasi yang tinggal setengah, ke kamarnya mengambil gitar. Setelah mengganti baju dan mengenakan topi, Lingkar keluar rumah. Sulastri bergeming. Dia tahu anaknya akan pergi ke terminal, turun naik bis, mengamen. Sulastri cuma bisa menatap punggung anaknya yang setengah berlari keluar pintu.

Pada saat bersamaan, di sebuah rumah mewah, seorang lelaki tua yang selalu berdasi, si Guntoro itu, sedang membentak-bentak dua lelaki ceking berkepala botak. Mukanya merah padam. Dadanya turun naik menahan kesal.

"Tolol kalian berdua! Mana sesumbar kalian? Katanya tiga residivis sialan itu hebat-hebat? Mana, mana?! Monyet semuanya! Sekarang saya tak mau tahu. Habisi Samudra sekarang juga, apa pun caranya! Kalau gagal lagi, nyawa kalian yang akan melayang! Si Bangsat itu harus habis riwayatnya. Bisnisku bisa ambruk hanya karena ulahnya yang selalu main kayu!"
"Iya bos..."
"Jangan cuma iya, iya! Jalan sekarang kunyuk!"

===
Lalu lintas macet total menjelang perempatan lampu merah. Lingkar melompat dari bus. Ia baru saja selesai mengamen. Dia haus. Berjalanlah dia ke halte, membeli minuman dingin. Tanpa sadar, Lingkar tengah diamati dua lelaki ceking berkepala botak yang sudah setengah jam duduk-duduk di halte. Kedua lelaki ini tampak kusut, ada beban berat yang menimbun pundaknya. Seorang di antaranya menegur Lingkar.
"Hei, kamu mau kerjaan? Kalau mau, kami akan membayar kamu sangat besar. Jauh sekali dari hasil kamu ngamen sebulan penuh. Mau?"
"Kerjaan? Apa kerjaannya?"
"Gampang. Cuma menaruh kantong plastik."
"Hah? Pekerjaan apa itu?"

Kedua orang ceking itu tersenyum, satu di antara mereka berkata. "Nanti akan saya jelaskan. Kamu ikut saja dulu."

Lingkar melempar gelas plastik air mineral. Diam-diam dia tertarik juga pada tawaran dua orang yang baru dikenalnya ini. Sama sekali dia tak berpikir bahwa mereka adalah orang yang berencana jahat. Lingkar diajak ke mobil yang diparkir di parkiran gedung bertingkat, kemudian ikut bersama mereka ke sebuah tempat yang tak jelas di mana.

===

Uang lima puluh juta rupiah bukan jumlah sedikit bagi Lingkar. Itulah sebabnya, dia gembira luar biasa. Hanya menaruh kantong plastik di kolong mobil, dia menerima uang berlimpah. "Gila orang itu. Gila!" Lingkar tak habis pikir pada dua orang ceking yang sudah memberinya rezeki itu. "Setiap hari pun kerja begitu, aku mau." Lingkar geleng-geleng kepala sambil melangkah pulang ke rumah. Dia membayangkan, ibunya pasti akan kaget melihat jumlah uang yang dia bawa.

Sesampainya di rumah, Lingkar memanggil-manggil ibunya. Sulastri yang baru saja salat Maghrib, heran menyaksikan anaknya begitu riang. Dia lihat pula Lingkar mengeluarkan bungkusan cokelat besar yang di dalamnya lembaran ratusan ribu bertumpuk-tumpuk.

"Heh, dari mana uang itu, Lingkar? Kamu merampok?" Sulastri kaget bukan kepalang. Bola matanya melotot.
Lingkar terkekeh. "Aku bukan jenis manusia seperti itu, Bu. Miskin-miskin begini, aku tak mau mencuri."
"Lalu dari mana uang sebanyak itu?" Kening Sulastri berkerut. Dia juga takut.
"Kerja."
"Kerja apa?" Sulastri semakin takut.
"Menaruh kantong plastik. Cuma itu kerjaannya. Lalu aku dikasih uang ini. Ibu tahu? Yang memberi aku pekerjaan itu orangnya ceking-ceking. Tapi uangnya banyak. Mereka menyuruhku menaruh bungkusan ke kolong sebuah mobil. Setelah selesai, aku dikasih uang ini. Lihat, Bu. Jumlahnya lima puluh juta! Sekarang kita kaya, Bu! Ini rezeki ajaib!"

Sulastri ngeri mendengar cerita Lingkar. Namun dia tak mengemukakan ketakutannya. Dia usap kepala anaknya. Naluri keibuannya muncul. Tak ingin dia merusak kebahagiaan Lingkar. Mungkin saja anaknya benar, ini rezeki ajaib. Bukankah tak baik menolak rezeki? Tapi kerjaan apa menaruh kantong plastik di kolong mobil?

"Bu, besok uang ini akan aku tabung di bank. Sekarang Ibu ganti daster, kita pergi makan. Kita harus rayakan ini, makan sepuasnya di restoran paling enak." Mata Lingkar berbinar-binar. Sulastri tersenyum, meski hati kecilnya tetap sulit menerima kenyataan uang lima puluh juta bertumpuk di depannya.

===

Lingkar sering berkhayal membawa ibunya menyantap rendang di rumah makan Padang, yang selalu menggodanya saat dia pulang. Sekarang dia mengajak Ibunya ke sana. Mereka berdua duduk di pojok, persis di bawah televisi yang dipasang di sudut atas kanan ruang. Keduanya lahap menyantap rendang, ayam bakar, dan sambal hijau. Minumannya jus alpukat. Wajah mereka disapu senyum, kegembiraan yang tak pernah terukir sebelumnya.

Orang-orang datang silih berganti. Sulastri dan Lingkar terlihat asyik. Tak pakai sendok menyantap makanan. Berkali-kali Lingkar membersihkan jari dengan mulut. Berkali-kali pula Ibunya menyuruh Lingkar minum, karena melihat anaknya terbatuk. Mereka juga sedang berencana membuka usaha agar hidup tak terus-menerus melarat. Uang lima puluh juta harus dimanfaatkan dengan baik.

Sepuluh pelayan sibuk hilir mudik membawa piring bertingkat-tingkat. Si pemilik restoran juga sibuk menghitung uang sambil sesekali menonton televisi, yang sedang menyiarkan siaran langsung peristiwa ledakan dahsyat. Diberitakan, sebuah mobil ringsek dihajar bom rakitan. Di sekitarnya serpihan tubuh lelaki gendut tua berserakan penuh darah. Kepalanya di depan, tangannya di samping, kakinya di belakang. Di sudut kiri atas tampak inzet foto korban dengan nama: Samudra Prawira.

Terdengar suara reporter stasiun televisi melaporkan, yang terdengar samar-samar karena terganggu gelak tawa dan obrolan seisi ruangan.

"Pemirsa, sejauh ini polisi masih melakukan penyelidikan. Namun, besar dugaan, mobil milik pengusaha retail, Samudra Prawira, ini meledak karena bom rakitan yang diletakkan di kolong mobil.... Polisi belum bisa mengidentifikasi pelakunnya..."

Gatsu, 13 Juni 2003

Wednesday, June 11, 2003

Namaku Khianat

KHIANAT namaku. Lahir dari rahim ibu yang tak suci, tumbuh bersama bapak yang tak kenal cinta. Hatiku gelap warnanya, karena lebih pekat dari hitam. Aku tak seperti engkau. Tapi, jelek-jelek begini, aku bisa merasuki jiwa kotor yang selalu kau bangga-banggakan. Eh, aku bukan setan, lho. Kebetulan saja rupaku seperti iblis. Aku ingat, dalam buku tebal yang kuintip di rumah seorang pakar bahasa, namaku bermakna perbuatan tak setia; tipu daya, dan bertentangan dengan janji. Membacanya jidatku berkerut, dulu itu.

Dari hari ke hari, pekan ke pekan, bulan ke bulan, tahun ke tahun, abad ke abad, kupikir-pikir buku milik ahli bahasa itu benar juga. Hidupku memang penuh siasat untuk menipu, sarat taktik menghasut. Sampai-sampai, muncul anggapan bahwa aku keji, kejam, dan tak berperasaan. Aku pengacau. Biar sajalah. Toh, kenyataannya begitu. Sehari-hari kerjaku memang merayu orang agar tak menghargai kesetiaan, ingkar dari janji sehidup semati. Aku adalah musuh loyalitas. Deduri bagi ketulusan agung.

Perjalanan hidupku yang panjang, membuat kupaham betul jiwa-jiwa yang sudah kusinggahi. Di antara mereka ada yang kaya, tak sedikit pula yang melarat. Ada yang terkenal, termasuk juga dari kalangan biasa. Malah, beberapa di antara mereka kerap muncul di layar televisi, berbicara tentang moral seperti orang suci. Ada juga yang pendiam dan lebih senang sibuk di belakang layar. Tak semuanya berhasil kuseret pada liang mudarat, memang. Tapi, cukup banyak pula yang sukses kuajak menari-nari di kubangan nista.

Setiap kali sukses mengajak orang-orang itu agar melupakan kesetiaan, aku selalu berpesta bersama teman-teman. Kami mabuk-mabukan, berjudi, teriak-teriak, bersenggama sambil tak lupa bertukar pasangan, mengguncingkan tren yang sedang digandrungi selebritas dunia, ngobrol ngalor-ngidul soal bumi yang semerawut--sekadar menunjukkan bahwa kami peduli--lalu tertawa-tawa laksana musuh yang mampu mengalahkan pendekar hebat. Aku menggelar pesta keberhasilan itu di mana saja. Di kamar-kamar mahal apartemen mewah, di basement gedung tua yang kusam, malah bisa juga di lorong-lorong comberan yang jorok. Teman-teman yang selalu menemaniku berpesta adalah Si Dengki yang kucel, Si Iri yang buleng, Si Sirik yang kumal, Si Buruk Sangka yang brengsek banget, dan banyak lagi lainnya, yang sumpah mampus, tak satu pun enak dilihat.

Khianat namaku. Lahir dari rahim ibu yang tak suci, tumbuh bersama bapak yang tak kenal cinta. Hatiku gelap warnanya, karena lebih pekat dari hitam. Aku tak seperti engkau. Tapi, jelek-jelek begini, aku bisa merasuki jiwa kotor yang selalu kau bangga-banggakan. Selama hidup aku tak pernah tidur. Moyangku melarang aku mengantuk, apalagi sampai memejamkan mata. Aku harus selalu waspada. Jangan sampai aku lengah mengganggu orang-orang. Aku harus siap siaga dalam tempo 24 jam sehari, mirip slogan iklan televisi tentang suami yang baik. Wilayah kerjaku melintasi batas negara, juga seabrek-abrek. Banyak, deh. Aku meloncat dari tubuh ke tubuh, masuk dan pergi begitu kerjaan selesai.

Sukses-tidaknya pekerjaanku dapat dilihat apakah orang tersebut melepas kesetiaan atau tetap menggenggamnya. Kalau yang kugoda berkeras teguh untuk setia, aku gagal. Andai yang kugoda goyah lalu berpaling dari kesetiaan, aku berhasil. Kan kuberi engkau gambaran sederhana kisah suksesku. Aku menembus berbagai permasalahan, dari urusan cinta, politik, ekonomi, budaya, sampai tetek bengek perang.

Dalam soal cinta, misalnya, aku bisa dengan mudah memberantaki jalinan kasih dua insan yang tengah memadu asmara. Caranya, mengajak seorang di antara pasangan itu untuk nakal dan akhirnya hengkang dari pasangannya. Aku juga sering membuat antarkelompok bertikai, melahirkan perang mulut, cecok, saling tonjok, bahkan mengajak mereka untuk saling membunuh.

Aku merayu siapa pun. Tak pandang bulu. Jika yang kugoda dokter, akan kubuat dia rela ingkar pada sumpah untuk membohongi pasien. Andai yang kurayu politisi, dia kuajak menipu orang banyak dengan janjinya, melompat sana-sini seperti kodok, sehingga tanpa sadar dia sedang melacur. Kalau yang kuganggu seorang polisi, kan kubikin tanpa beban dia menerima recehan saat menilang pelanggar lalu lintas. Bila yang kuganggu adalah presiden, kan kuajak dia melupakan cita-cita menyejahterakan rakyat, cukup keluarga dan kerabatnya saja yang diberi kemakmuran. Singkat kata, kehadiranku membuat kesetiaan menjadi sesuatu yang amat istmewa. Sesuatu yang diidam-idamkan. Aku adalah perusak, dan engkau harus tahu, kini aku merasa lelah karenanya. Maka, di malam ini izinkan aku mengungkapkan penyesalan. Sebab terus-terusan begini aku tak tenang. Aku sungguh tersiksa habis-habisan menyandang nama Khianat.

"Terkutuklah aku..." Kumaki diriku geram.

Dari serangkaian pekerjaan yang sudah kujalani, terbaru adalah tugas di daerah konflik perang saudara. Itu terjadi di sebuah negeri yang sedang tertatih bangkit dari keterpurukan. Di arena bergejolak itu, aku bekerja mati-matian. Tujuannya cuma satu: merangkul orang-orang agar melecehkan kesetiaan, hingga dengan demikian aku puas dan bisa pesta-pesta bersama para teman. Tapi, selama aku menjalani rutinitasku menipu daya, baru kali ini air mataku menetes. Kusaksikan begitu kental duka yang timbul karena pekerjaanku.

Aku teringat ketika seorang pemuda anggota kelompok yang menuntut kemerdekaan tanah kelahirannya, didor jantungnya lantaran kepergok berakrab-akrab dengan pasukan penumpas. Lelaki itu bernama Zulkifli. Dia lahir 23 tahun silam di kawasan yang tak pernah sepi dari darah, air mata, dan letusan senjata. Sepuluh tahun hidup dari hutan ke hutan, bergerilya agar tak terbunuh dalam perang, Zulkifli mati karena aku. Dia diadili dengan cara yang amat primitif: duduk dikelilingi puluhan pemuda dengan AK 47 di tangan, mukanya ditunjuk-tunjuk, diludahi, dimaki-maki, dan pada akhirnya dadanya bolong ditembus dua letusan pelor sang panglima. Zulkifli terkapar. Mayatnya dibiarkan membusuk di tengah hutan, di makan ratusan belatung. Sebelum Zulkifli lumat, aku sempat membaca torehan kata pengkhianat dari darah di jidatnya.

"Mampus kau!" Seorang anggota penuntut kemerdekaan itu menendang kepala Zulkifli. Setelah meludah, dia pergi menyusul teman-temannya ke hutan, bergerilya lagi, entah sampai kapan.

Aku menyaksikan semuanya sambil mencaci-maki diri sendiri. Kubayangkan menjadi jasad Zulkifli, yang harus dibuang atau ditumbuk menjadi serpihan debu karena dianggap mengotori perjuangan. Betapa memilukan, begitu mengerikan. Jahat sekali panglima perang itu, juga si ceking yang mengumpat sambil menendang kepala. Baru kali ini aku merasa kasihan pada korban yang sudah berhasil kurayu. Lama aku terpana. Andai saja aku tak ada, barangkali Zulkifli masih bernyawa. Andai saja aku tak menggodanya, orangtua Zulkifli di kota tentu tak akan menangis buah hatinya menghadap Ilahi dengan cara mengenaskan.

"Terkutuklah aku..." Kumaki diriku geram.

Khianat namaku. Lahir dari rahim ibu yang tak suci, tumbuh bersama bapak yang tak kenal cinta. Aku tak seperti engkau. Tapi, aku bisa merasuki ruh kotor di badan yang selalu kau bangga-banggakan. Aku sedang menyesali diri kini. Aku ingin memberontak, tapi terbentur karena garis takdir aku harus menyandang nama Khianat. Monyet! Bangsat! Kenapa orangtuaku bisa-bisanya memberi nama aku demikian?

Dan penyesalanku datang lagi. Ingatanku belum bergeser dari tanah yang sedang diperebutkan itu. Seorang serdadu penumpas sukses kubujuk membelot menjadi pendukung kelompok kemerdekaan. Namanya Badrun. Sejak kecil, cita-citanya ingin bisa terbang malam seperti kalelawar. Tapi nasib menggiringnya menjadi tentara, meski gaji yang dia dapat tak sebanding dengan nyawa yang harus dikorbankan. Hobinya bernyanyi lagu-lagu kebangsaan, yang dia hafal dari buku Lagu Wajib perjuangan saat duduk di sekolah dasar.

Badrun selalu yakin akan menjadi tentara yang baik, yang membuat ayah ibunya bangga, dan bangsa menaruh hormat padanya. Tapi Badrun lupa bahwa dalam hidupnya, seperti juga pada manusia-manusia lain, aku selalu menghantui. Dia pun lengah dan gagal bertahan, lantas menjadi korban godaanku. Di puncak sukses karir militernya, aku berhasil meracuni rohnya untuk membuang kesetiaan pada negara yang dia cintai. Buntutnya fantastis: Badrun menjadi lawan perang pasukan penumpas yang sebelumnya adalah kawan seperjuangan.

Sebetulnya, pasukan penumpas tak terlalu risau dengan pembelotan Badrun. Sebab dia cuma prajurit kecil, kelas teri yang kalau mati masih ada sejuta lagi sekelas dirinya. Pada pertempuran sengit di jantung belantara rimba, Badrun yang diberi kepercayaan sebagai panglima, tak berkutik saat pasukan penumpas menyergap. Sepuluh anak buahnya tewas dalam baku tembak itu. Badrun selamat, meski dia terkepung todongan senapan laras panjang tiga belas serdadu penumpas. Tapi dengan gagah, Badrun tak mengangkat tangan saat diperintahkan menyerah. Dia malah menantang.

"Jangan bertindak bodoh, Drun!" Fikar, kawan sekampung Badrun yang menjadi teman sejalan saat masuk dunia militer, mencoba membujuk sobat kecilnya agar meletakkan senjata. Telunjuknya siap menarik pelatuk, begitu juga dengan dua belas pasukan penumpas lain yang mengelilingi Badrun.

"Kalian yang semestinya tidak bertindak gegabah. Tanah ini memang pantas merdeka. Ini negeri kaya yang dirampas kekayaan buminya oleh orang-orang pintar keblinger dari kota. Apakah kalian tega membunuhi pemuda-pemuda desa yang ingin merasakan tanahnya bebas dari cengkraman edan itu?" Badrun mendengus, matanya melirik satu persatu pasukan penumpas yang dingin.

"Kamu salah Drun. Orang kota tak sejahat itu. Orang kota ingin tanah ini dikelola untuk kemakmuran seluruh negeri, bukan demi segelintir orang, apalagi pejabat. Penduduk di sini pun kebagian. Ada jatahnya. Pejabat negeri baik-baik, kok. Mereka mencintai rakyat, mengabdikan hidupnya demi kesejahteraan rakyat." Fikar tenang tapi siaga penuh.

"Taik! Pejabat negeri baik-baik? Butakah mata kalian? Coba cuci otak kalian yang sudah dicemari panji-panji bela negara itu. Berpikirlah jernih! Apa yang sudah pejabat negeri lakukan pada diri kalian?! Gaji kalian cuma bisa untuk bayar kontrakan, jatah beras kalian banyak belatung dan itu juga disunat, uang kesehatan kalian cuma bisa untuk beli obat masuk angin, nyawa kalian cuma tumbal untuk slogan persatuan dan kesatuan tak jelas. Jangan bego! Dengan turut berjuang di tanah yang ingin merdeka ini, kalian berada di jalur yang benar. Ingat, kalian bukan anjing beludak yang cuma bisa diperintah atas nama negeri sialan!" Badrun meledak. Dan aku bergidik mendengarnya. Aku cemas.

"Badrun! Omonganmu kacau! Tidakkah kamu ingat cita-cita kecilmu yang ingin mengabdi pada negeri? Kenapa kamu sekarang aneh begini? Didoktrin apa kamu oleh para penutut kemerdekaan brengsek itu? Mereka pemberontak! Mereka ingin memisahkan diri dari negera kesatuan! Sesuatu yang sangat kamu tentang, karena kamu cinta pada kekokohan bangsa! Letakkan senjata itu Drun. Kami tak main-main. Sekali kamu mencoba menembak, secepat kilat kami akan lebih cepat mengokang senjata!" Fikar membetulkan posisi berdiri, menatap Badrun yang terengah-engah.

"Tidak. Kalianlah yang seharusnya menyerah! Saya tak mempan oleh gertak sambal kalian! Kalian pikir saya takut? Dengar baik-baik! Saya tak takut mati demi perjuangan yang saya yakini saat ini."

Aku luar biasa tegang menyaksian semuanya. Bergetar jantungku membayangkan yang akan terjadi pada beberapa detik nanti. Ah, ini semua salahku. Andai tak kuracuni Badrun supaya meninggalkan kesetiaannya pada negeri, dia tentu tak akan berhadap-hadapan dengan kawan-kawannya itu. Dia pasti masih setia pada pertiwi. Ah.

"Terkutuklah aku..." Kumaki diriku geram. Kupejamkan mata, risau.

Tar, tar, tar!

Letusan senjata itu mengejutkanku. Aku melongo. Badrun telah menarik picunya. Menembak Fikar yang jaraknya sekitar lima langkah. Fikar roboh, dan dua belas pasukan penumpas lain segera memberondong Badrun habis-habisan. Dadanya kena, bahunya kena, lehernya kena, batok kepalanya kena, matanya kena, kakinya kena. Badrun tumbang bermandi darah.

Fikar mati. Badrun mati. Persahabatan kedua pemuda itu berakhir memilukan. Aku menyaksian semuanya dengan gamang. Dua belas prajurit penumpas bergerak cepat, mencoba menyelamatkan Fikar. Setelah menyadari temannya tewas, mereka membawa Fikar pergi. Badrun ditinggal sendiri. Mungkin dibiarkan membusuk.

"Kenapa Badrun tak kita bawa juga? Dia teman kita." ujar seorang pasukan penumpas kepada temannya yang sedang sibuk mengangkat mayat Fikar.

"Kita tak punya teman pengkhianat. Badrun pengkhianat negeri. Dia pantas mati dan biarkan saja busuk di sini." jawab serdadu penumpas lain. Tentara yang tadi ingin membawa Badrun diam. Posisinya yang memaksa begitu. Dia kalah pangkat.

Saya juga diam. Lidah saya kelu. Hati saya hancur. Aku, yang lahir dari rahim ibu yang tak suci, tumbuh bersama bapak yang tak kenal cinta, menangis. Aku berteriak histeris membuang ingatanku sambil berlari.

"Kan kubunuh Ibuku! Kan kubantai Bapakku!"

Tebet, 11 Juni 2003

Friday, June 06, 2003

Surat kepada Angin

Surat ini saya tujukan kepada angin. Sebab saya tak tahu kepada siapa kegelisahan ini harus disampaikan. Kepada angin, saya bisa berharap, resah yang hinggap akan terbang jauh ke mana-mana: merayap di punggung-punggung gunung, menukik di jurang, merambat di atas alur sungai, bisa pula menari-nari di dekat awan menyentuh gemintang dan bulan. Kepada angin, saya yakin surat ini akan akan sampai.

Angin...
Saya sampaikan kerisauan ini sendirian. Berteman senja yang sunyi, dengan mataharinya yang mulai lelap. Sebetulnya, sudah sejak lama saya merasakan kegundahan ini. Tapi, saya selalu mencoba bertahan pada akal sehat. Dan andai saat ini saya tak lagi kuat menopangnya, bukan berarti akal sehat saya telah mati. Mungkin dia lelah, dan karena itu dia memerlukanmu, angin...

Angin...
Bagaimana kabarmu? Tahukah kamu di sini saya seperti sedang hinggap di dahan yang rengat dan bila dibiarkan saya akan jatuh menumbuk tanah. Masih bagus kalau tanah, bagaimana jika bebatuan tajam yang seketika membuat kepala saya pecah berantakan? Semoga saja, bilapun saya terjatuh, saya tak terbanting pada alas yang keras. Mudah-mudahan ada semacam matras, yang lembut, yang tak merusak kepala dan hati saya.

Angin...
Saya tak pernah bisa menjawab kenapa dalam melangkah seperti selalu tersengat deduri. Yang berceceran seperti hamburan beras ditebar, tajam-tajam, membuat tapak kaki saya dileleri darah dan hati saya berurai airmata. Tak adakah penunjuk arah yang mampu mengantar saya pada lajur yang mulus? Saya tunggu jawabmu angin, sebab saya harus terus berjalan, tak lagi bisa menunggu.

Angin...
Pergilah ke langit dan sampaikan kepada Tuhan bahwa saya sedang merindukan telaga di gersangnya ruhaniah. Saya akan membasuh muka, berkumur, sekadar menahan dahaga yang singgah. Lalu bergerak lagi ke depan, memburu damai yang terindukan, mengejar cinta yang terimpikan, dan pulang mengusung bulan di pangkuan dengan bintang-bintang mengitari di lingkaran....

Angin...
Sekian surat saya. Saya tunggu balasanmu, di sini, pada senja yang melelahkan, yang sepi tanpa pelangi, yang muram karena matahari sebentar lagi pergi...

Salam manis...
Saya