Friday, May 16, 2003

Stalingrad

...Aku kehilangan jari kelingking tangan kiriku. Tapi, yang lebih celaka lagi adalah tiga jari tengah tangan kananku juga hilang akibat beku kedinginan. Hanya dengan ibu jari dan kelingkingku, aku bisa memegang cangkir minumku...

...Mereka berjatuhan seperti lalat; tidak ada yang peduli dan tidak ada yang menguburkan mereka. Mereka bergeletakan di mana-mana, buntung tanpa tangan atau kaki dan tanpa mata, dengan perut robek menganga...

...Aku terkejut saat melihat peta. Kami sama sekali sendirian, tanpa bantuan dari luar. Hitler telah meninggalkan kami di ujung tanduk...

...Tidak ada yang bernama kemenangan itu Pak Jenderal. Hanya ada bendera dan orang-orang yang berguguran, dan pada akhirnya tidak akan ada lagi bendera maupun orang-orang. Stalingrad bukanlah suatu keputusan militer, tapi justru suatu judi politik...


BAIT-bait kalimat itu adalah petikan surat-surat terakhir serdadu Nazi Jerman dari Stalingrad (sekarang bernama Volgograd--kota industri yang terletak di tengah sungai Volga), Uni Sovyet, pada sebuah musim dingin di awal 1943. Di tengah samudra salju, mereka terisolasi, tanpa bahan makanan, tanpa bala bantuan. Mereka menunggu saat-saat terakhir: ajal yang menjemput karena ganasnya musim dingin atau sergapan musuh yang mematikan. Para tentara malang itu mengungkapkan perasaannya melalui goresan pena. Surat-surat dan potongan yang terkumpul itu aslinya diterbitkan di Jerman pada 1954 dengan judul Letzte Briefe aus Stalingrad.

Saat itu, pasukan Nazi memang tengah berekspansi besar-besaran ke berbagai negara Eropa, tak terkecuali Uni Soviet. Didukung peralatan militer lengkap serta pesawat-pesawat tempur yang tak pernah lelah menggempur, Nazi relatif mudah merebut berbagai kota dan negara daratan Eropa. Semua? Tidak, rupanya. Karena Stalingrad tak kunjung tumbang.

Stalingrad yang diplesetkan oleh Nikita Kruschev menjadi "Stalin Rad", yang berarti Kota Stalin, adalah pintu gerbang utama menuju Uni Soviet. Itulah sebabnya, Stalingrad harus dipertahankan dengan segala risiko. Seandainya kota ini hancur atau dikuasai Jerman, dalam tempo singkat seluruh wilayah Uni Soviet bakal berada di bawah kaki Jerman. Tak mau itu terjadi, banyak pemuda dari berbagai tempat di Uni Soviet dikirim ke kota ini.

Sejarah mencatat kurang lebih 1.100.000 prajurit Soviet kehilangan nyawa, beberapa ribu di antaranya menjadi korban penembakan polisi keamanan Uni Soviet yang khusus mengawasi dan menembak para prajurit desersi. Banyaknya prajurit Soviet yang melakukan desersi setidaknya membuka mata dan hati Nikita Kruschev bahwa Stalingrad tak hanya cukup dipertahankan dengan peralatan militer seadanya serta mendengungkan semboyan seperti "merdeka atau mati", atau "mari, berkorban untuk ibu pertiwi". Para prajurit itu membutuhkan hal lain untuk menjaga semangat juang mereka.

Pertempuran selama sekitar tiga bulan itu memang benar-benar membuat Jerman kebingungan. Mereka gagal, Stalingrad tak pernah bisa jatuh. Perang kota yang kandas itu memberi pelajaran pada Jerman bahwa kecerobohan dan keyakinan serta kepongahan hanya melahirkan bumerang mematikan. Prajurit Jerman yang larut dalam keputusasaan menemukan kuburannya di Stalingrad...

Perang memang tak pernah mengenal penderitaan. Di mata perang, nyawa yang terbunuh adalah risiko lumrah yang musti ditempuh. Baik sipil maupun militer yang menjadi korban, para jenderal selalu pada keyakinannya bahwa perang adalah perang dan karena itu nyawa yang melayang bukanlah persoalan penting. Saya tak pernah bisa mengerti, dengan dalih perdamaian perang kerap ditempuh. Saya lebih pada keyakinan bahwa mereka yang menghalalkan perang, baik untuk mereka yang menjadi pemberontak maupun yang menumpas pemberontakan, dan menekankan senjata adalah jalan keluar, saya pikir mereka lebih pas ada di lingkaran kejiwaan yang parah. Akal sehat saya tetap menolak penjajahan, tapi agaknya, saya akan tetap menolak perang. Sesuatu yang agaknya sulit, memang. Dunia memang selalu penuh dengan paradoksal dan keganjilan.

0 comments: