Thursday, April 03, 2003

Jurnalisme Bogem Mentah di Layar Kaca

PADA sebuah kesempatan berbincang-bincang dengan Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV Karni Ilyas, saya bertanya soal kecenderungan redaksi Liputan 6 menampilkan tindakan keras polisi terhadap tersangka pelaku kejahatan dalam program berita kriminal Buru Sergap. Saya yakin, banyak orang gerah melihat polisi sedemikian kasar, seperti sering terlihat pada program berita sejenis Buser. Ketika itu, di pengujung Januari 2003, Karni menjawab tenang, "Jangan televisinya yang disalahkan. Salahkan polisinya. Itu kan fakta. Fakta itu suci dalam kaidah jurnalistik." Secara tak langsung, Karni ingin mengatakan bahwa memang begitulah hasil reportase kru Liputan 6, sehingga sah-sah saja televisi menampilkan polisi tengah menampar, meninju, atau menjambak tersangka pelaku kejahatan.

Fakta yang dimaksud Karni, boleh jadi, memang demikian adanya. Tapi, saya mencoba mengejar jawaban Karni dengan bertanya, bukankah SCTV memfasilitasi kekerasan polisi itu, untuk disiarkan dan ditonton jutaan orang? Mungkin saya bukan siapa-siapa, tapi saya keberatan dengan sikap stasiun televisi yang seolah-olah menolak bertanggung jawab pada pemberitaan yang menonjolkan unsur kekerasan. Jenis berita macam apakah polisi yang tengah menabok penjudi, memukul perut maling atau pengedar narkoba? Meski sang kameraman merekam adegan polisi seperti itu, artinya memang demikian faktanya, terlalu berlebihan sebuah berita kriminal mengenai maling ayam, misalnya, tapi gambar yang ditonjolkan adalah saat si tersangka dikerasi supaya mengaku.

Mendengar pertanyaan susulan saya, Karni tetap pada pendiriannya seraya menambahkan bahwa polisilah yang seharusnya berbenah, jangan bertindak berlebihan kepada orang yang belum tentu bersalah. Pernyataan Karni bermakna bahwa dalam konteks pemberitaan kriminal, menyiarkan tindakan kasar polisi pada tersangka, stasiun televisi ada pada posisi yang sesuai jalur: mendapatkan fakta apa adanya, dan atas dasar itulah hasil reportase menjadi layak tayang. Bagaimana pula ini bisa diterima akal sehat? Kenapa harus polisi saja yang berubah, stasiun televisi tidak?

Sejak program berita kriminal Patroli mengudara dari stasiun televisi Indosiar, secara perlahan, tayangan-tayangan sejenis memang bermunculan. Ada kesan latah, memang. Tapi, mengekor sesuatu yang menarik bukanlah perkara tabu. Apalagi, rupanya, program berita yang memfokuskan kriminalitas ini bisa mendulang iklan lantaran rating yang diperoleh juga cukup tinggi. Maka, menyusulah Buser di SCTV, Sergap di RCTI, Modus di Trans TV, serta TKP di TV7. Lepas dari upaya menjaring iklan, ada pula yang yakin bahwa siaran model seperti itu akan mengurangi tindakan kriminal dalam bentuk apa pun. Benar demikian? Butuh penelitian lebih lanjut menjawabnya. Satu hal pasti, kalau aksi kriminalitas berkurang, sudah pasti tayangan seperti itu akan kekurangan berita.

Dari serangkaian tayangan, sejauh ini, sulit memungkiri bahwa memang terjadi ulah polisi yang terkesan berlebihan terhadap tersangka kriminal. Ada polisi yang menampar pipi tersangka sambil membentak-bentak. Ada pula polisi yang umumnya berseragam preman meninju perut tersangka supaya mengaku. Umumnya, yang terkena damprat adalah penjahat-penjahat kelas teri: dari penjudi kere, pengedar narkoba kelas ketengan, sampai maling ayam. Pada kesempatan lain, mata kita berbenturan dengan sikap ramah polisi pada penjahat kerah putih. Saya tak meminta golongan penjahat seperti ini dikerasi pula. Saya cuma ingin mengatakan bahwa kalangan kecil--meski seorang penjahat--tetap saja diperlakukan tak adil. Betapa malangnya nasib mereka.

Kamera televisi senang merekam adegan saat polisi bertindak kasar. Sebab, itulah gambar bagus dan dengan demikian sangat layak tayang. Lalu, upaya penyaringan menonton televisi di rumah sedemikian kendur dan anak-anak kecil bisa dengan leluasa membelalakkan mata di depan layar kaca, lupakah bahwa tayangan seperti Patroli Cs memiliki dampak yang tak bisa dianggap remeh?

*bersambung* (cape, soalnya)

0 comments: