Thursday, April 03, 2003

-=Ho Chi Minh=-

ANDAI sebuah negeri adalah bandul, maka penguasa adalah seorang aktor yang memainkan tali. Bergerak ke sana ke mari, bandul tak bisa diam. Keras tidak geraknya tergantung sosok di belakang yang mengendalikan. Dan ketika hidup para jelata terguncang-guncang, boleh jadi, ada yang tak beres dengan sang penguasa. Bisa saja karena kedunguan, bandulnya terlalu kencang diayunkan, sehingga gerak yang keluar melahirkan irama tak nyaman. Itulah sebabnya, menjadi penguasa tak mudah. Anehnya, kekuasaan layaknya madu yang dikerubungi semut. Kerap diperebutkan, kalau perlu dengan darah.

Untuk apa berkuasa kalau tak mampu menjadi penguasa yang baik? Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, memberikan janji dengan teori mutakhir, kalau kekuasaan tak pernah juga bisa diajak lurus? Hidup barangkali memang keras. Tapi menyiksa rakyat dengan kebijakan yang tak jelas dan menyengsarakan bukanlah kemuliaan sebuah tugas. Sebab penguasa yang mengabdi pada rakyat, mesti memiliki niat tulus. Tak cuma memakai otak, tapi juga hati. Kalau cuma otak--ini pun kalau masih punya--jangan berharap sebuah negeri akan tenteram.

"...saya tidak punya kesempatan untuk sekolah di universitas. Saya mengembara dan bekerja dan itulah sekolah saya. Apa arti sebuah ilmu? Dia akan berarti jika ia berguna bagi rakyat. Bukan untuk mencetak orang-orang sombong dan hidup jauh dari rakyat, tetapi bekerja dan mengabdi untuk rakyat, " kata Ho Chi Minh.

Dan Minh benar. Mantan pemimpin Vietnam Utara yang tak tunduk ditaklukkan Prancis, Amerika Serikat, ini menyerahkan jiwa dan raga untuk rakyatnya. Ketika itulah pengabdian menjadi suci, seperti embun. Sulit membayangkan bandul bergerak tenang di belakang penguasa yang tak sadar arti penderitaan, meski dipimpin perempuan yang katanya selalu menderita.

0 comments: